Hukum

Pahami segi Hukum dalam mempersiapkan pernikahan.

Keuangan

Cek pengaturan keuangan diri dan pasangan anda.

Medis

Bangun kebiasaan hidup sehat dan cegah penyakit.

Psikologi

Belajar berkomunikasi, memahami diri sendiri dan pasangan.

Umum

Topik-topik yang umum dan kira nya berguna untuk kita ketahui.

Home » Psikologi

Persyaratan Psikologis Bagi Sebuah Pernikahan

Submitted by on July 30, 2013 – 8:07 amOne Comment
Oleh: R. Matindas (1988)
Banyak kenyataan mengenai kehidupan pernikahan yang disembunyikan oleh para pendahulu. Ini menyebabkan generasi berikutnya mempunyai ilusi tentang pernikahan. Banyak yang mengira pernikahan adalah sesuatu yang indah, yang merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan. Pada kenyataannya, tidak jarang pernikahan jauh dari itu.
Menyadari kenyataan bahwa pernikahan tidak selalu seindah impian sangatlah penting, agar pada waktu kenyataan itu dihadapi sendiri, kita tidak lagi terlau kaget dan tidak mengira bahwa kitalah satu-satunya orang yang bernasib malang. Pengetahuan bahwa orang lain juga mengalami nasib serupa seringkali merupakan bahan hiburan yang mujarab. Dan hiburan terhadap suatu kepedihan hidup seringkali dapat membantu meringankan penderitaan. Penderitaan perlu diatasi, karena orang yang terlalu menderita seringkali menampilkan tingkah laku yang dapat menjengkelkan orang lain. Akibatnya, orang lain akan membalas dengan tingkah laku yang justru membuat kita akhirnya justru semakin menderita.
Berikut ini disajikan beberapa kenyataan utama dalam hidup pernikahan.
railway(1) .     Manusia Berubah dari Waktu ke Waktu
Dulu waktu kecil, saya senang sekali kalau diberi pistol air. Sekarang, saya maunya pistol beneran atau kalau tidak bisa minta “mentahannya” saja. Saya berubah. Hal-hal yang dulu begitu berharga bagi saya sekarang kehilangan nilainya. Dulu saya senang ditemani dan merasa kesepian bila ditinggal pergi. Sekarang saya tiba-tiba bisa merasa terganggu oleh kehadiran pasangan saya. “Saya ingin istirahat, jangan ganggu saya,” dan sebagainya.
Saya berubah dan diapun berubah. Dulunya dia begitu sabar, sekarang karena sering dimarahin bosnya di kantor, dia jadi mudah tersinggung. Dia sering membentak saya dan seringkali berlaku kasar kepada saya. Dulu dia sangat memperhatikan saya, sekarang dia lebih memperhatikan siaran berita di TV, lebih suka baca koran, tidak lagi mau diajak ke Pasar Baru, dan sebagainya.
Hanya dengan menyadari bahwa masing-masing dari kita dapat (dan satu waktu akan) berubah, kita dapat bersikap lebih realistis dalam menghadapi berbagai kekecewaan dalam pernikahan.
(2) .     Dalam Pernikahan Pasti Ada Konflik
Siapapun harus menyadari bahwa tidak mungkin ada dua orang yang bisa selalu seia sekata sepanjang segala abad. Satu waktu pasti ada konflik. Konflik ini bisa merupakan perbedaan pendapat, perbedaan nilai, maupun perbedaan kepentingan. Tapi, walaupun konflik adalah sebuah kenyataan, kita tidak perlu terlalu khawatir, sebab adalah juga kenyataan bahwa banyak sekali konflik yang dapat dipecahkan dengan baik.
(3) .     Tidak Seorang Pun Bisa Memuaskan Semua Kebutuhan Pasangannya
Inilah kenyataan yang seringkali menyakitkan. Saya bukanlah segala-galanya bagi dia. Ternyata dia membagi cinta dengan orang lain. Ini memang kenyataan yang pahit, tapi biarpun pahit ini tetap kenyataan. Dan kenyataan harusnya dihadapi, bukan dihindari atau ditutup-tutupi. Jangan terlalu kecil hati kalau anda bukan sega-galanya bagi dia. Karena orang lain pun bukan segala-galanya bagi dia. Dan barangkali, kalau dihitung-hitung, anda tetap lebih unggul dibandingkan orang lain.
(4) .     Pernikahan Memerlukan Sejumlah Persyaratan
Menikah bukanlah sebuah pekerjaan yang terlalu berat. Buktinya, banyak sekali orang yang berhasil menikah. Tetapi, menikah juga bukan persoalan yang terlau mudah. Tidak sedikit orang yang menyesali pernikahannya dan bahkan cukup banyak yang kemudian mengambil putusan untuk membatalkan pernikahannya. Kalau membatalkan sebuah pernikahan dapat disamakan dengan sekedar membatalkan pesanan karcis untuk sebuah pertunjukan, mungkin kita tidak perlu terlalu mempersoalkannya. Tetapi, karena perceraian biasanya dipandang sebagai hal yang sedapat mungkin perlu dihindari, barangkali ada baiknya untuk mengkaji apakah para calon yang akan menikah telah memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk memulai sebuah kehidupan bersama.
Adalah kenyataan bahwa pernikahan diatur oleh undang-undang. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang ingin menikah. Bila syarat itu tidak terpenuhi, mereka tidak dizinkan (baca dilarang) menikah. Ini menunjukkan bahwa negara memandang pernikahan sebagai sesuatu yang memerlukan pertimbangan yang matang. Hanya sayangnya, persyaratan-persayaratan yang harus dipenuhi umumnya kurang memperhitung segi-segi psikologis dari para calon. Padahal, menurut saya, kematangan psikologislah yang seharusnya merupakan persyaratan yang paling dipertimbangkan.
Berikut ini adalah sejumlah ciri yang umumunya dimiliki oleh orang-orang yang secara psikologis telah matang untuk memasuki gerbang pernikahan:
(a) .     Mengenali kebutuhan pribadi
Setiap orang punya sejumlah kebutuhan psikologis yang hanya dapat dipuaskan melalui interaksinya dengan orang lain. Di antaranya adalah kebutuhan untuk mengabdi, kebutuhan untuk disayangi, dan kebutuhan untuk mengatur orang lain. Makin kenal seseorang pada kebutuhannya, makin mampu ia menemukan cara-cara yang efektif untuk memuaskan kebutuhan itu. Dan makin kenal seseorang pada kebutuhannya yang hanya dapat dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain, makin mampu pula ia menilai sejauh mana orang tertentu dapat dipandang cocok untuk teman hidupnya.
Di lain pihak, orang yang tidak mengenali kebutuhannya akan tetap terganggu oleh adanya kebutuhan itu. Sebagai akibatnya, alam bawah sadarnya akan mendorong dia untuk melakukan berbagai tindakkan untuk meredakan ketidakseimbangan yang ditimbulkan oleh kebutuhannya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa tingkah laku yang didorong oleh ketidaksadaran ini akan terasa sebagai “gangguan bagi orang lain”, khususnya bagi pasangan hidupnya. Itu sebabnya mengapa pengenalan terhadap kebutuhan pribadi adalah salah satu syarat penting bagi sebuah pernikahan.
(b) .     Mengenali kebutuhan pasangan
Mengenali kebutuhan pasangan sama pentingnya dengan mengenali kebutuhan pribadi. Dengan mengenali kebutuhan calon pasangan, seseorang dapat menilai apakah ia cocok untuk mendampingi calonnya itu. Jika ia menilai bahwa ia tidak akan mampu memuaskan kebutuhan calonnya, akan lebih baik kalau dia memutuskan untuk sekedar tetap mencintai orang itu, dan tidak perlu menikah dengan orang itu. Bila pasangannya ini kemudian ternyata tidak dapat ia puaskan, maka cepat atau lambat ketidakpuasan si pasangan ini akan menular pada dirinya sendiri. Orang yang terus-menerus merasa kecewa, akan menampilkan berbagai tingkah laku yang pada akhirnya justru mengecewakan orang lain.
(c) .     Menyadari makna cinta
Cinta memang sebuah misteri yang sulit dijelaskan. Tapi toh tetap ada beberapa hal yang pasti mengenai cinta. Satu di antaranya adalah kenyataan bahwa cinta bukan sesuatu yang abadi. Saya selalu mengatakan bahwa cinta abadi hanya ada dalam dongeng-dongeng Anderson. Kalau tidak percaya, cobalah tanya pada kakek dan nenek. Apakah seumur hidupnya, mereka masing-masing hanya pernah satu kali jatuh cinta? Kalau kakek cukup jujur, jawabannya hampir pasti, “Tidak. Pada mulanya, kakek pernah mati-matian mencintai seorang teman sekolah. Tapi satu hari si dia memutuskan cinta. Kakek patah hati dan hidup merana, sampai datangnya seorang gadis lain yang kakek kira adalah cinta sejati Kakek. Anehnya, kali ini, justru kakeklah yang mengkhianati cinta. Kakek akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Nenek, yang sekarang mungkin sedang Kakek cintai, walaupun pernah juga beberapa waktu dianggap sebagai hukuman Tuhan terhadap dosa-dosa Kakek.”
Kalau tidak puas dengan cerita Kakek, tanyailah Nenek. Jawabannya kira-kira setali tiga uang. Begitu juga dengan kisah Ayah-Ibu dan Om-Om serta Tante-Tante. Cinta, sekali lagi, bukanlah hal yang abadi. Cinta hanyalah semacam energi yang lahir karena adanya kebutuhan tertentu. Bila kebutuhan ini terasa banyak dipuaskan oleh orang tertentu, kita dikatakan jatuh cinta padanya. Bila kemudian dia tidak lagi mampu memuaskan kebutuhan kita, cinta kitapun perlahan jadi pudar. Orang yang matang untuk sebuah pernikahan, menyadari bahwa cinta tidak bisa dijadikan satu-satunya penyangga pernikahan. Bila pernikahan juga ditopang oleh hal-hal lain di luar cinta, maka melemahnya cinta tidak akan merusak keseluruhan pernikahan itu. Karena itu, mereka yang menyadari hakikat cinta, tahu betul bahwa tidak semua orang yang dicintai harus dijadikan istri atau suami.
(d) .     Kehidupan Pernikahan adalah Sebuah Tantangan
Dalam kehidupan pernikahan, ada berbagai kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi semua kesempatan itu, bukanlah sesuatu yang secara pasti akan diperoleh. Banyak hambatan yang harus diatasi sebelum kebahagiaan itu dapat dirasakan. Salah satunya adalah kesanggupan mengatasi berbagai konflik dengan pasangan hidup. Karena itu, untuk bisa merasakan kebahagian, cinta saja jelas tidak cukup. Setiap orang yang menikah perlu membekali diri dengan sejumlah keterampilan psikologis yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul.
Beberapa di antara keterampilan psikologis yang utama adalah:
(1) .     Kemampuan berkomunikasi
Kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan yang sangat utama untuk bisa hidup berdampingan secara damai dengan orang lain, juga dengan orang yang dicintai. Di dalam kemampuan berkomunikasi, tercakup kemampuan-kemampuan untuk menjelaskan harapan dan keinginan pribadi, dan kemampuan untuk menangkap harapan dan keinginan yang dimiliki pasangan. Banyak sekali masalah yang bisa diselesaikan bila dua pihak yang besengketa sama-sama memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi.
(2) .     Kemampuan bernegosiasi
Sekedar terampil mengutarakan isi hati dan peka terhadap perasaan orang lain masih belum cukup, bila tidak disertai dengan kesanggupan untuk melakukan tawar-menawar pada saat ada perbedaan kepentingan. Kemampuan negosiasi sendiri sesungguhnya adalah sebuah faktor yang perlu didukung oleh kematangan pribadi, kesangupan membedakan yang mungkin dari yang mustahil, dan kesedian untuk juga memberi setelah banyak mendapat. Kesanggupan bernegosiasi juga meliputi kemampuan untuk mendewasakan mitra hidup, mengajarkan pada dia bahwa kalau dia mau memberi, maka dia akan mendapat. Sebaliknya kalau dia hanya menuntut kepentingannya, dia akan memperoleh lebih banyak kerugian.
(3) .     Kemampuan menyelaraskan A-K-U
“AKU” adalah kesatuan antara Ambisi (hal-hal yang diinginkan), Kemampuan (hal-hal yang dimiliki), dan Usaha (tindakan nyata untuk mencapai keinginan). Keselarasan antara ketiganya adalah hal yang mutlak dibutuhkan agar seseorang terbebas dari perbagai penderitaan. Hal yang paling penting dalam menyelaraskan A-K-U adalah kesadaran bahwa keinginan merupakan sesuatu yang secara sengaja dibangkitkan, dan karenanya dapat pula ditiadakan. Jika seorang dapat meniadakan keinginan-keinginan yang menimbulkan kekecewaan, maka dengan sendirinya kekecewaan itu dapat dihilangkan. Tentu saja meniadakan keinginan bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk itu, orang harus mampu mengenali sumber keinginannya, yaitu kebutuhan, dan kemudian membangkitkan keinginan lain (yang lebih realisitis), yang bisa menjadi alternatif bagi pemuasan kebutuhannya. Kemampuan menyelaraskan A-k-U pada akhirnya adalah kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, yang dilandasai oleh kesadaran mengenai hal hal yang benar-benar benar dibutuhkan (bukan yang hanya sekedar diinginkan).
(4) .     Pernikahan Bukan Sebuah Keharusan
Pernikahan hanyalah satu di antara berbagai kemungkinan untuk menemukan kebahagiaan. Karena itu, pernikahan bukan sebuah keharusan. Saya kira ini adalah kata akhir yang perlu benar-benar dihayati. Janganlah sebuah pernikahan dipaksakan hanya sekedar karena “sudah cukup umur” atau demi status semata-mata. Jika memang seorang tidak siap untuk menikah, akan lebih bijaksana untuk membiarkan dia hidup “sendiri.” Saya kira, kita perlu memasyarakatkan pandangan bahwa tidak menikah bukanlah sebuah aib.
Catatan:
Naskah ini adalah penyempurnaan makalah yang disampaikan penulis dalam seminar“Mempersiapkan Perkawinan” yang diselenggarakan oleh majalah Sarinah, bulan Oktober tahun l988. (sekarang 2013 dan kayaknya hal-hal yg dikemukan dahulu masih tetap berlaku)

One Comment »

Leave a comment to Universitas Psikologi

Add your comment below, or trackback from your own site. You can also Comments Feed via RSS.

Be nice. Keep it clean. Stay on topic. No spam.

You can use these tags:
<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

This is a Gravatar-enabled weblog. To get your own globally-recognized-avatar, please register at Gravatar.


3 + = 6